Di sebuah kampung kecil bernama Sumber Sejuk, tinggal seorang anak perempuan berusia delapan tahun bernama Tiwi. Tiwi senang bermain air di sungai kecil yang mengalir jernih di belakang rumahnya. Sungai itu bukan hanya tempat bermain, tetapi juga sumber air bersih untuk warga kampung.
Setiap pagi, Tiwi membantu ibunya, Bu Tini, menyiram tanaman dari air sisa cucian beras yang ditampung di ember. Mereka juga memilah sampah rumah tangga: sisa makanan masuk ke tong hijau, plastik ke tong biru, dan popok serta pembalut ke tong abu-abu. Semua itu diajarkan oleh Pak Iman, ketua RW yang juga relawan lingkungan kampung mereka.
Namun suatu hari, sungai di belakang rumah Tiwi mulai berubah. Warnanya menjadi keruh kecoklatan, bau menyengat tercium di sore hari, dan ikan-ikan kecil yang biasa berenang menghilang. Tiwi sedih dan bertanya kepada ibunya, “Bu, kenapa sungainya sekarang bau? Airnya juga kotor. Aku nggak bisa main-main lagi.”
Bu Tini menghela napas dan berkata, “Sepertinya banyak warga yang masih buang sampah ke selokan. Hujan deras beberapa hari lalu bawa semua sampah itu ke sungai.”
Tiwi termenung. Ia teringat Pak Iman pernah berkata dalam pertemuan warga, “Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari air. Kalau air kotor, kita yang rugi. Air tanah bisa tercemar, dan tanaman bisa layu.”
Tiwi tak bisa diam. Ia ingin sungai kembali jernih. Keesokan harinya, ia mengajak kakaknya, Eko yang berusia 15 tahun, untuk keliling kampung. “Ko, kita harus kasih tahu warga tentang bahaya buang sampah sembarangan. Aku nggak mau sungai kita mati.”
Eko, meski awalnya malas, akhirnya setuju. Bersama-sama, mereka membuat poster dari kardus bekas bertuliskan:
“Sampahmu, Airmu, Hidupmu. Jangan Buang Sampah ke Sungai!”
Mereka menggambar sungai yang penuh ikan dan tumbuhan hijau di satu sisi, dan sungai penuh sampah di sisi lain.
Mereka meminta izin ke Pak Iman untuk menempelkan poster itu di balai RW, warung, dan depan sekolah. Tak hanya itu, mereka juga mengajak boneka kesayangan Tiwi, Yasmina dan Kang Pisman, ikut dalam kampanye lingkungan kecil-kecilan.
Pak Iman mendukung penuh. “Wah, kalian luar biasa! Kalian sudah paham hubungan antara sampah dan air. Ini yang harus kita tanamkan ke semua warga. Mau bantu saya adakan kerja bakti minggu depan?”
Tiwi dan Eko bersorak, “Mau!”
Hari Minggu tiba. Warga berkumpul di pinggir sungai. Bu Tini membawa makanan ringan untuk semua, dan Pak Iman membawa karung-karung besar untuk memungut sampah. Tiwi dan Eko membagikan sarung tangan dan masker kain buatan Ibu-ibu PKK dari kain perca.
Mereka bekerja bersama-sama: memungut plastik, menyapu daun, dan mencabut rumput liar. Setelah beberapa jam, sungai tampak lebih bersih. Walau airnya belum sepenuhnya jernih, mereka merasa bangga. Hari itu menjadi hari pertama dari gerakan “Sungai Hidup, Kampung Sehat.”
Di akhir kegiatan, Pak Iman menjelaskan lebih lanjut kepada warga, “Air hujan yang jatuh ke tanah harus bisa meresap. Kalau banyak sampah menyumbat saluran, air jadi tergenang dan membawa polutan ke sungai dan sumur kita. Kita harus jaga siklus air agar tidak rusak.”
Ia menunjukkan gambar sederhana: hujan turun → meresap ke tanah → jadi air tanah → keluar di mata air dan sungai.
“Tapi kalau tanah tertutup plastik dan sampah, air tidak bisa masuk. Dia lari ke sungai bawa sampah, dan akhirnya kita kena banjir atau krisis air bersih.”
Warga mulai mengerti. Sejak hari itu, kampung Sumber Sejuk menerapkan beberapa kebiasaan baru:
-
Pemilahan Sampah di Rumah: Setiap rumah wajib punya tiga tempat sampah—hijau, biru, abu. Sampah organik dikumpulkan untuk dijadikan kompos.
-
Lubang Resapan Biopori: Di depan rumah dibuat lubang-lubang kecil untuk menyerap air hujan agar tidak mengalir ke jalan.
-
Bank Sampah dan Komposter Komunal: Warga membawa sampah anorganik ke bank sampah setiap minggu, dan sisa makanan dibawa ke komposter RW.
-
Sungai Bersih Tiap Bulan: Anak-anak sekolah dilibatkan untuk menjaga sungai, belajar ekosistem, dan menghitung jumlah ikan kecil yang kembali.
Tiwi menjadi duta kecil lingkungan. Ia diundang ke sekolah-sekolah tetangga untuk bercerita tentang Sungai Sumber Sejuk. Ia bercerita dengan penuh semangat, “Kalau kita buang sampah sembarangan, kita sedang merusak air. Tapi kalau kita jaga air, kita sedang menjaga kehidupan kita sendiri.”
Ia menutup ceritanya dengan pertanyaan, “Maukah kalian bantu aku menjaga air dan lingkungan? Yuk, mulai dari rumah!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar